Liputan6.com, Banda Aceh : Di depan sebuah rumah bantuan sederhana bertipe 36, di desa Lampulo, Banda Aceh, seorang ibu berkerudung biru tampak cekatan mengiris tumpukan ikan tongkol yang telah dikeringkan. Dia adalah salah satu korban bencana Tsunami Aceh 9 tahun silam.
Ikan kayu produk Fauziah bersama kelompoknya ini menambalkan 'Cap Kapal Tsunami' sebagai lambang produknya. "Agar tidak lupa sejarah tsunami kita buat lah Cap Kapal Tsunami karena kita selamat di atas kapal itu," tutur Fauziah, Kamis (26/12/2013).Namanya Fauziah, sambil menunggui tumpukan ikan tongkol yang dijemur di atas pengering manual terbuat dari kayu, tangannya tampak cekatan mengiris ikan tongkol yang akan diolah menjadi ikan keumahmah atau yang biasa disebut ikan kayu.
Ada kisah pilu di balik penambalan merek ikan kayu produksi Fauziah. Dia bersama 5 anaknya beserta puluhan warga Lapulo lainya selamat di atas kapal saat gelombang tsunami meluluhlantakan desanya.
Saat gelombang dahsyat itu datang, Fauziah dan anaknya berlari ke sebuah rumah berlantai 2 yang berjarak beberapa meter dari rumahnya.
"Saat gelombang tsunami datang kami mencoba menyelamatkan diri lari kerumah Ibu Abasiah, seketika gelombang datang warga melihat ada kapal yang tersangkut di atas rumah itu, hingga warga membongkar seng semuat badan dan naik ke atas kapal itu," kenang Fauziah.
Hingga kini kapal tersebut masih bertengger di atas atap rumah warga di kawasan Lampulo, Banda Aceh.
Sementara suaminya, saat minggu pagi 9 tahun lalu itu sedang ke pasar, dan menjadi korban amukan gelombang. "Saat itu suami saya ke pasar, hingga jasadnya pun tidak kami temukan," ungkap Fauziah.
Kini kapal tsunami itu menjadi sejarah dan lambang merajut asa baru bagi Fauziah. Melalui produksi ikan kayunya ia bangkit dan menempuh hidup baru.
Penambalan 'Cap Kapal Tsunami' itu, cerita Fauziah, terjadi pada tahun 2006 lalu, saat ia masih tinggal di tenda. Saat masyarakat masih dilanda pilu karena kehilangan sanak famili, keluarga, hingga harta benda, beberapa LSM menghampiri desa mereka dan memberikan pelatihan mental serta merajud asa dengan berbagai pelatihan kerajinan.
Salah satunya pelatihan mengelola ikan tongkol menjadi abon, dendeng, ikan kayu, dan lainya. Dengan sabar Fauziah mengikutinya hingga menekuni usaha pengolahan ikan tongkol menjadi ikan kayu bersama kelompoknya dengan modal Rp 500 ribu.
"Setelah mengikuti pelatihan, diadakan pameran dalam rangka memperingati satu tahun tsunami, itu dihadiri Pak SBY hingga produk kami banyak mendapat apresiasi dari berbagi intansi," tutur Fauziah.
Setelah itu dengan bermodalkan uang Rp 500 ribu, Fauziah bersama kelompoknya mencoba bangkit dengan menekuni usaha pengolahan ikan kayu 'Cap Kapal Tsunami'. Usaha Fauziah berbuah manis hingga mendapatkan beberapa bantuan perlengkapan dan pembibingan dari intansi terkait.
Fauziah memasarkan ikan kayunya ke beberapa toko, hingga saban hari penjualannya terus meningkat. Bahkan terus merambah beberapa daerah di Aceh hingga ke Medan, Sumatera Utara.
"Sekarang udah banyak yang beli buat oleh-oleh, dari Medan, Jakarta, Malaysia, hingga ke Turkei," kata Fauziah.
Omzetnya kini mencapai Rp 20 juta. Bahkan pemerintahan Aceh sejak 2012 lalu telah menjadikan ikan kayunya sebagai bekal wajib jamaah haji asal Aceh.
Kisah kebangkitan Fauziah ini bukannya tak punya kendala, namum Fauziah dengan sabar menjalaninya. Mulai dari membuat makanan basah dan penyek di tenda pengungsian, ketidakadaan modal, Fauziah tetap berusaha.
Dengan 'Kapal Tsunami' itu kini Fauziah mengarungi hidup baru bersama kelima orang anaknya, yang telah mampu mengantarkan anaknya bersekolah hingga keperguruan tinggi.
'Kapal Tsunami' itu sejarah besar bagi Fauziah, kisah pilu dan kebangkitan yang ia lambangkan dalam hidupnya